Jumat, 07 September 2012

Memorial ... (4)


...
"Fan, kamu mau menikah dengan adikku?" kata Mas Amrullah mengagetkanku.
Terdiam sejenak, mencoba mengatur dada yang bergoncang karena kaget.
"Maaf, mas. Kurasa aku harus berkonsentrasi pada studiku dulu, karena ini amanah dari orang tua. Sekali lagi maaf" jawabku dengan hati-hati.
"Ya ndak papa, Fan. Semoga sukses".

Segala puji bagi Allah, yang telah memudahkan jalanku untuk bisa segera menyelesaikan studi di kota ini. Ketika aku telah selesai dari kuliah, seorang teman yang bernama Muhammad menawarkan kepadaku untuk bisa membantunya menjaga toko buku Islam di kota L.
Aku mengemukakan udzur karena belum menguasai software yang digunakan, sedangkan di antara persyaratan yang dibutuhkan adalah sudah menguasai software tersebut. Muhammad bergeming, agar aku yang menjadi penjaga sekaligus adminnya. Maka akupun berterima kasih kepadanya karena kepercayaannya kepadaku dan aku berjanji akan segera masuk kerja.
Segala puji bagi Allah lagi atas karunia ini, karena tanpa susah payah menulis lamaran kerja ternyata pekerjaan datang ke hadapanku.

Untuk mencukupi kebutuhanku selama di kota ini, aku pun bekerja sebagai penjaga sebuah toko kecil milik anak dari Ibu Kos, semoga Allah memberi kepada mereka keberkahan dalam harta dan usahanya. Aku juga diperkenankan untuk tinggal di toko itu, sehingga praktis aku tidak membayar biaya kontrak.
Selama waktu itu, waktuku tersita untuk bekerja, aku harus membuka toko kecil itu pukul 5 pagi sampai pukul 8 pagi, kemudian dilanjutkan oleh seorang teman yang bernama Anto. Dia waktu itu belajar di sebuah Ma'had untuk mendalami bahasa Arab. Kebetulan dia masuk siang, pukul 1 sampai 4 sore. Sedangkan aku pulang dari toko buku pukul 4 sore, jadi sampai toko aku langsung buka lagi sampai sekitar pukul 10 malam.


Apa yang membuatku tetap bertahan dalam pekerjaan yang "lumayan" berat dan menyita waktu istirahat ini, tidak lain adalah aku tetap bisa shalat berjama'ah di masjid. Sampai saat ini, inilah di antara alasanku untuk seleksi dalam bekerja yaitu harus tetap bisa shalat jama'ah di masjid.

Sejak saat itu, alhamdulillah, aku sudah meminta kepada orang tuaku untuk menghentikan "kiriman" bulanan, karena aku sudah bisa menghidupi diri sendiri meskipun sangat sederhana.

Sosok seorang Akhwat1)

Beberapa kali aku tak sengaja melihat wajahnya. Tampak biasa. Tapi sungguh, yang membuat jiwa ini terasa bergetar adalah jilbab besar yang menyelimuti tubuhnya, bukan itu saja tapi kegiatannya mengajari anak-anak belajar Al-Qur'an.
Saat itu, aku benar-benar tidak bisa menyembunyikan hasrat jiwaku untuk menyukainya, dan menikahinya. Aku pun tidak ingin hatiku terkotori dengan memikirkan hal yang terlarang bagiku. Dengan "nekat" aku menulis sebuah surat kepadanya, yang berisikan isi hatiku dan keinginan untuk membina rumah tangga dengannya (bukan untuk membina hubungan pacaran), aku memberi waktu kepadanya untuk berfikir selama 1 bulan. Kuberikan surat itu kepadanya ketika berpapasan, dia bertanya untuk siapa, kujawab "untuk ukhti2)".

Aku juga menyempatkan diri untuk pulang ke rumah, berbicara kepada ibuku, beliau tidak mengiyakan tapi juga tidak menolak keinginanku untuk menikah.

Waktu berfikir ternyata berlalu dengan cepat, lewat surat yang dikirimkan kepadaku, dia tidak menolakku hanya saja dia diminta ayahnya untuk meneruskan studi S2.

Hatiku benar-benar goncang waktu itu, seakan-akan aku merasa tidak terima diperlakukan seperti itu. Akal sehatku berusaha mengingatkanku bahwasanya jodoh itu tidak bisa dipaksa, seluruhnya adalah kehendak dari ALlah.

Aku berusaha bisa tegak berdiri menghadapi ini, akan tetapi keberadaanku di kota ini pada saat yang sama aku akan masih sering bertemu dengannya membuatku terasa adalah hal yang akan merusak hatiku.
Beberapa malam, aku berdoa kepada Allah, agar memberikan jalan keluar dari permasalahan ini, karena aku sadar bahwa selama aku masih berada di kota ini aku tidak akan bisa konsentrasi dengan baik.
 
Kasih sayang Allah kepada hambaNya adalah hal yang tidak bisa disangkal.

Selang beberapa hari, pimpinan perusahaan tempatku bekerja, - toko buku itu di bawah kendali sebuah perusahaan di kota S-, Pak Ardi menelponku.
"Mas, sampeyan pindah ke sini ya, kami lagi membutuhkan karyawan"
"Pak, sayakan masih baru di kota L, masak sudah ditarik ke pusat?"
"Ya mas, soalnya kita lagi butuh, kami beri waktu 3 hari"
Dalam hati aku melonjak senang karena berarti aku segera meninggalkan kota L dan segala kenangan manis serta pahitnya, di sisi lain aku bersedih, karena jarak antara kota S ke kota tempat orang tuaku tinggal lebih jauh. Kugunakan waktu yang disediakan untuk berkonsultasi dengan orang tuaku terutama ibu, beliau mengijinkan aku untuk pindah.
Maka ketika waktu yang ditetapkan telah tiba, aku pun berangkat ke kota S, sebuah kota baru bagiku. Aku pernah mengunjunginya, dulu ketika masih SD...



Catatan Kaki (-editor- Abu Robi') :
1) Akhwat = saudara perempuan, sebagaimana Ikhwan, sebutan di kalangan aktivis muslim kepada saudaranya, hanya saja tetap harus diperhatikan bahwasanya setiap muslim adalah saudara, bukan hanya yang satu organisasi atau kelompok.
2) Ukhti = saudariku, bahasa mudahnya Mbak/Dik



Tidak ada komentar:

Posting Komentar